Recent Posts

Masa Kampanye 90 Hari Terkait dengan Tiga Hal Ini, Kok Dipangkas Jadi 75 Hari

TWEETUP
Senin, 06 Juni 2022, 11:15 PM WIB Last Updated 2022-06-06T16:16:30Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

Pengamat Pemilu Ramdansyah 


TWEETUP.ID - Pengamat Pemilu Ramdansyah Bakir komentari pemangkasan massa kampanye Pemilu 2024 dari 90 hari menjadi 75 hari, sebagaimana yang baru saja disepakati antara KPU RI dan DPR RI.


Ramdansyah yang juga pimpinan Rumah Demokrasi menjelaskan, kebijakan mempersingkat masa kampanye dari 90 hari menjadi 75 hari, tidak boleh mengabaikan kepastian dari Pemilu.


"Pemilu itu pasti dalam proses, tetapi tidak pasti dalam hasil. Pengurangan masa kampanye yang mengerucut dari 90 hari menjadi 75 hari tentunya tetapi harus memberikan kepastian proses pelaksanaan Pemilu 2024," ujar Mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta ini.


Selain itu, tegas Ramdansyah, ada sejumlah pertimbangan yang harus menjadi acuan dalam menentukan masa kampanye.


Pertama, terkait sengketa Tata Usaha Negara Pemilu, yang membutuhkan waktu untuk inkracht. Untuk itu,  KPU dan Bawaslu dalam posisi harus menunggu Putusan Pengadilan Tata usaha negara, yang sangat mungkin menambah jumlah calon dan mempengaruhi desain surat suara.


Kedua,  terkait percetakan surat suara yang terpusat hanya di beberapa titik. 


"Di saat yang bersamaan antara masa kampanye juga sedang berlangsung pencetakan dan pendistribusian surat suara yang menunggu Putusan Inkracht pengadilan ada atau tidaknya tambahan calon," paparnya.


Ketiga, menyangkut  distribusi surat suara dan formular rekap suara. 


"Pendeknya masa kampanye 90 atau 75 hari harus mempertimbangkan distribusi surat suara dan alat perlengkapan lainnya selama tengat. Jangan sampai terjadi penundaan Pemilu yang disebabkan belum sampainya perangkat tersebut di sejumlah pelosok daerah," jelasnya.


Mantan Sekjen Partai Idaman ini berharap, tiga persoalan penting  ini,  harus ada jalan keluar dalam bentuk contigency plan.


Karena pemilu di negara manapun, penyelenggara harus punya jalan keluar ketika terjadi persoalan. 


"Penyelenggara harus memastikan semua persoalan diatas bisa terselesaikan ketika muncul di permukaan. Dengan adanya jalan keluar, maka keserentakan Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif dan Pilkada dapat meningkatkan efisiensi penyelenggaraan, tetapi tanpa meninggalkan asas kepastian penyelenggaraan Pemilu," tuturnya.


Contingency plan pertama, lanjut Ramdansyah,  dapat melihat bagaimana Mahkamah Konstitusi (MK) menyaring perkara Caleg dengan memberikan ambang batas permohonan sengketa hasil dari 0,5% hingga 2% agar dapat diuji dalam perselisihan hasil  pilkada di MK. 


"Otomatis tidak terjadi penumpukan perkara di MK. Dengan durasi kampanye yang singkat maka harus ada kebijakan  Mahkamah Agung (MA) untuk mengurangi penumpukan perkara ketika berkas gugatan Caleg di Pengadilan Tata Usaha Negara / Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Tentu saja, jalan keluar ini tidak boleh mengurangi keadilan substansi dari Caleg yang mencai keadilan," bebernya.


Contingency plan kedua, kata pemilik sejumlah gelar akademis ini,  adalah terkait dengan mekanisme dan pengadaan logistik Pemilu. Pemerintah dapat mengeluarkan payung hukum dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) untuk mengsinkronkan mekanisme dan pengadaan logistik.


"Penyelenggara diharapkan tidak melanggar hukum dengan keberadaan Keppres ini," paparnya.

 

Selanjutnya Contingency plan ketiga,  adalah dengan membuat Peraturan Pengganti UU (Perppu) untuk revisi terbatas. 


"Perppu ini diharapkan dapat membuat jadwal yang tidak bertabrakan satu sama lain antara tahapan Pemilu dan Pilkada," ujarnya.


Meksipun demikian Rumah Demokrasi memberikan catatan agar Perppu yang dikeluarkan tidak melebar kepada isu-isu substansi lainnya, tetapi hanya pada tahapan Pemilu serentak 2024 yang dianggap kurang sinkron. Perppu dapat mensingkronkan peristiwa Pemilu dan Pilkada.


"Keduanya ada dalam dua Undang-undang yang berbeda, tetapi tidak dalam satu alur pemikiran yang terhubung dalam keserentakan Pemilu/Pillkada. Pembentuk Undang-undang  Pilkada Nomor  10 tahun 2016 belum punya konsep keserentakan Pemilu. Demikian pula UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu sama sekali mengabaikan potensi keserentakan pilkada di tahun 2024. Diharapkan Perppu dapat menyelesaikan potensi chaos ini," jelas dia.


Pembuatan Perppu, urai Ramdansyah,  merupakan pertimbangan hukum dari Mahkamah Konsitusi dalam Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa, kemungkinan adanya Pemilu serentak, maka penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk UU untuk memutuskan.


"Ada sejumlah kriteria untuk membuat UU itu antara lain agar  pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas," ujarnya.


Kampanye Media Sosial


Ramdansyah, pengamat Pemilu meminta kepada KPU RI untuk membuat definisi yang jelas terkait aktifitas kampanye media sosial.  Keberadaan internet dan media sosial dengan partisipasi politik personal tentunya dapat mendorong prinsip keadilan bagi partai politik baru.  


"Partai politik baru dengan Caleg-Calegnya dapat berkampanye intens di media sosial sejak dini.  Dengan Peraturan KPU yang jelas, maka partisipasi individual di ruang media sosial bukanlah kampanye liar/illegal," terangnya.


Ruang kebijakan terbuka tentang durasi kampanye, jelas Ramdansyah,  tentunya harus mengacu pada Pasal 276 ayat (1) UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan bahwa Kampanye Pemilu dalam bentuk pertemuan terbatas,  pertemuan tatap muka,  penyebaran bahan Kampanye Pemilu kepada umum dan pemasangan alat peraga di tempat umum dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah ditetapkan Daftar Calon Tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD.


Kampanye iklan media massa cetak, elektronik, internet dan rapat umum dilakukan selama 21 hari yang diatur dalam Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu. Peraturan KPU RI yang akan dibuat sebagai peraturan teknis harus singron dengan UU Pemilu tersebut.


DPR RI


Ketua DPR Puan Maharani mengungkapkan, DPR, KPU, dan pemerintah telah sepakat masa kampanye Pemilu 2024 menjadi 75 hari. 


Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang menambahkan awal masa kampanye akan dimulai pada 28 November 2023.


Junimart mulanya menjelaskan mengenai tahapan Pemilu 2024. Dia menyebut tahapan pemilu digelar 20 bulan sebelum hari pencoblosan.


"Pemilu tanggal 14 Februari 2024, tahapan pemilu dimulai paling lambat 20 bulan sebelum hari pemungutan suara yaitu 14 Juni 2022," katanya saat dihubungi, Senin 6 Mei 2022.


Junimart mengatakan, sesuai program dan tahapan KPU, kampanye akan dilakukan 75 hari. Masa kampanye disebutkannya akan dimulai pada November 2023 hingga Februari 2024.


"Sesuai program dan tahapan KPU maka kampanye 75 hari dimulai 28 November 2023-10 Februari 2024," ujarnya. *** RED 01

Komentar

Tampilkan

Terkini

-->