Recent Posts

KONSEKUENSI LOGIS PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA (PPPK)

TWEETUP
Selasa, 28 Juni 2022, 8:39 AM WIB Last Updated 2022-06-30T09:44:25Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

 

KONSEKUENSI LOGIS PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA (PPPK) oleh Daddy Rohanady Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat

Ada dampak yang sangat signifikan dengan terbitnya surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo bernomor B/185/M.SM.02.03/2022. Surat yang diundangkan pada 31 Mei 2022 itu akan berdampak sangat besar pada struktur APBD seluruh provinsi dan kabuaten/kota. Tinggal menunggu kapan hal itu akan secara serius dieksekusi seratus persen.


Surat tersebut secara eksplisit terkait Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Surat ditujukan kepada seluruh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di lingkungan Kementerian/Lembaga instansi Pusat dan Daerah.


Sejatinya, surat tersebut untuk menunjukkan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan penanganan tenaga honorer yang telah bekerja di lingkungan instansi pemerintah. Namun, Surat Menteri PANRB Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 tampaknya secara nyata akan membebani APBD provinsi maupun kabupaten/kota secara nyata. Mengapa demikian?


Betapa tidak, andai benar kebijakan tersebut akan diimplementasikan 100% di semua wilayah, bisa dibayangkan, berapa banyak penawai honorer yang harus direkrut menjadi tenaga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)? Jumlahnya pasti berbeda-beda di masing-masing provinsi/kabupaten/kota. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa perekrutan tersebut pasti akan menambah jumlah pos "Belanja Pegawai" provinsi/kabupaten/kota.


Sesungguhnya, pergerakan besar pernah dilakukan ketika ada pengalihan status guru SMA/SMA ke provinsi. Bedanya, pengalihan status guru SMA/SMA ke provinsi lebih menambah beban APBD provinsi. Di sisi lain, kebijakan tersebut justru lebih mengurangi beban kabupaten/kota. Memang, di sana-sini masih terdapat pro-kontra. Namun, kebijakan nasional, apalagi sudah dijadikan Undang-Undang, tampaknya relatif sulit "ditolak" oleh semua pemerintah daerah.


Sebagai contoh kasus saja, misalnya Kabupaten Bandung Barat. Sebagai salah satu kabupaten yang relatif masih muda di Provinsi Jawa Barat, tenaga kesehatan yang statusnya honorer jumlahnya sekitar 800 orang. Padahal, kemampuan mereka mengangkat PPPK hanya sekitar 150 orang. Bagaimana nasib 650 pegawai honorer lainnya? Itu baru satu organisasi perangkat daerah (OPD). Secara keseluruhan, jumlah tenaga honorer di kabupaten tersebut bisa mencapai 10 kelipatannya.


Ada pula kabupaten yang honorer tenaga kesehatan di satu rumah sakitnya saja hampir mencapai 1.300 orang. Jika kondisi ini lantas mengharuskan daerah tersebut secara serta-merta mengangkat mereka menjadi ASN-PPPK, bisa dipastikan pos belanja pegawainya meningkat sangat pesat. Sekali lagi, masalahnya, ini kan baru di satu unit kerja. Bisa dibayangkan jumlah pegawai yang harus menjadi PPPK di semua organisasi perangkat daerah kabupaten tersebut.


Itu baru problem di tingkat kabupaten/kota. Di tingkat provinsi juga tidak berbeda jauh. Di salah satu OPD saja, tenaga harian lepas (THL) ada yang mencapai 2.700 orang. Di OPD lain jumlahnya bervarisi, ada yang mencapai 1.000 orang, ada yang 500, dan lain-lain. Artinya, di Provinsi Jawa Barat pun jumlah tenaga honorernya tidak sedikit. Kondisi serupa bisa dipastikan terjadi pula di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.


Menilik jumlah honorer pada bidang pendidikan dan kesehatan saja, jumlahnya pasti sangat banyak. Bukankah selama ini kita kerap kali mendengar keluhan perawat/bidan atau guru honorer yang tersebar di berbagai wilayah? Bahkan, beberapa waktu lalu ribuan pegawai honorer menggelar aksi long march dari patung kuda menuju Istana Negara, Jakarta.


Surat Menteri PANRB tersebut memang bukan satu-satunya aturan terkait kepegawaian. Ada sederet peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan itu. Sebut saja misalnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). UU tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bahkan, secara khusus ada Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).


Lebih spresifik lagi, Tenaga Honorer yang telah bekerja di lingkungan Instansi Pemerintah telah diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005. PP tersebut kemudian juga telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil. Perubahan terakhir dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil.


Namun, sekali lagi, andai surat tersebut lantas ditindaklanjuti dengan pengangkatan tenaga honorer menjadi PPPK, ada beberapa konsekuensi yang harus dipikirkan secara matang.


Pertama, tujuannya memang pasti positif di satu sisi. Untuk mayoritas tenaga honorer, tampaknya kebijakan tersebut membawa berkah. Selain bisa menjadi kepastian hukum soal status kepegawaian, bisa jadi pula, take home pey mereka meningkat.


Kedua, bagaimana dengan kasus spesial, misalnnya terkait tunjangan jasa pelayanan untuk tenaga kesehatan, khususnya para dokter spesialis?


Ketiga, mungkinkah beban pembiayaannya dilakukan dengan cara co-sharing? Hingga saat ini, APBD provinsi/kota/kabupaten mana kuat menanggung peningkatan pos belanja pegawai tersebut?


Ada beberapa hal menarik lainnya yang harus dicermati terkait Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK diundangkan pada tanggal 28 Nopember 2018.


a. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.


b. Jabatan ASN yang dapat diisi oleh PPPK, meliputi JF dan JPT.


c. Adapun JPT yang dapat diisi dari PPPK sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 adalah JPT Utama tertentu dan JPT Madya tertentu.


d. Sedangkan untuk JF yang diisi oleh PPPK sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2020 tentang Jenis Jabatan Yang Dapat Diisi Oleh PPPK dan Keputusan Menteri PANRB Nomor 76 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri PANRB Nomor 1197 Tahun 2021 tentang Jabatan Fungsional Yang dapat Diisi Oleh Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja.


e. PPK dilarang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN. Larangan tersebut juga bagi pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah yang melakukan pengangkatan pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK. PPK dan pejabat lain yang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.


g. Pegawai Non-PNS dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dapat diangkat menjadi PPPK apabila memenuhi persyaratan.


5. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK diundangkan pada tanggal 28 November 2018. Dengan demikian, pemberlakuan 5 (lima) tahun sebagaimana tersebut dalam Pasal 99 ayat (1) jatuh pada tanggal 28 November 2023 yang mewajibkan status kepegawaian di lingkungan Instansi Pemerintah terdiri dari 2 (dua) jenis kepegawaian, yaitu PNS dan PPPK.


Terkait hal itu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh para Pejabat Pembina Kepegawaian:


a. Melakukan pemetaan pegawai non-ASN di lingkungan instansi masing-masing dan bagi yang memenuhi syarat dapat diikutsertakan/diberikan kesempatan mengikuti seleksiCalon PNS maupun PPPK.


b. Menghapuskan jenis kepegawaian selain PNS dan PPPK di lingkungan Instansi masing-masing dan tidak melakukan perekrutan pegawai non-ASN.


c. Dalam hal Instansi Pemerintah membutuhkan tenaga lain seperti Pengemudi, Tenaga Kebersihan dan Satuan Pengamanan dapat dilakukan melalui Tenaga Alih Daya (Outsourcing) oleh pihak ketiga dan status Tenaga Alih Daya (Outsourcing) tersebut bukan merupakan Tenaga Honorer pada instansi yang bersangkutan.


d. Menyusun langkah strategis penyelesaian pegawai non-ASN yang tidak memenuhi syarat dan tidak lulus seleksi Calon PNS maupun Calon PPPK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum batas waktu tanggal 28 Nopember 2023.


e. Bagi Pejabat Pembina Kepegawaian yang tidak mengindahkan amanat sebagaimana tersebut di atas dan tetap mengangkat pegawai non-ASN akan diberikan sanksi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dapat menjadi bagian dari objek temuan pemeriksaan bagi pengawas internal maupun eksternal Pemerintah.


Semoga implementasinya menberi dampak kesejahteraan masyarakat, khususnya para tenaga honorer di lingkungan Kementerian/Lembaga dan instansi di lingkungan pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota@1

Komentar

Tampilkan

Terkini

-->