Pengamat Politik Ramdansyah |
TWEETUP.ID - Pengamat politik, Ramdansyah komentari perpanjangan masa tugas 5 anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Periode 2017 -2022 hingga 3 bulan ke depan.
Ramdansyah yang juga pimpinan Rumah Demokrasi mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk memperpanjang masa tugas DKPP hingga 3 bulan ke depan.
"Rumah Demokrasi mengapresiasi kehadiran Keppres No. 63/P Tahun 2022 yang ditanda tangani Presiden pada tanggal 8 Juni 2022 sebagai bentuk kepastian hukum, tetapi mempertanyakan urgensi perpanjangan masa jabatan," katanya lewat rilis yang diterima redaksi, Sabtu 11 Juni 2022.
Pertimbangan Keppres yang digunakan adalah Pasal 155 ayat (4) huruf c dan ayat 5 tentang usulan 5 anggota DKPP yang 2 orang berasal dari Pemerintah dan 3 orang usulan dari DPR RI.
"Tampaknya, Pemerintah belum berani menyerahkan 2 nama yang diusulkan Pemerintah, karena inisiatif penundaan berasal dari Pemerintah," ungkapnya.
Rumah Demokrasi melihat, penundaan pengusungan calon DKPP baru dapat menimbulkan sejumlah spekulasi.
Pertama, kata Ramdansyah, bahwa DKPP sepertinya ingin dibangkitkan kembali sebagai lembaga superbody.
DKPP pernah menjadi lembaga superbody karena Undang-undang No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu membuat frasa “putusan DKPP bersifat final dan mengikat”. Kondisi ini menimbulkan sejumlah masalah.
"Frasa ini menjadikan DKPP berimajinasi sebagai “saudara kembar” dari Mahkamah Konstitusi," katanya.
MK adalah lembaga peradilan yang memiki kewenangan atribusi yang diberikan oleh UUD 1945 (Pasal 24C ayat 1).
"MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945 dan DKPP ingin seperti MK," ungkapnya.
Imajinasi lain dari DKPP, menurut Ramdansyah adalah berani melakukan intervensi terhadap kewenangan lembaga lain, karena adanya kata “putusan” dalam frasa “putusan DKPP bersifat final dan mengikat”.
DKPP berimajinasi sebagai bagian dari lembaga peradilan karena adanya kewenangan atribusi yang diberikan oleh UU.
Padahal, tegas mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta, DKPP tidak masuk dalam lembaga kekuasaan kehakiman manapun.
Sebagai contoh, ujar Ramdansyah, Pilkada Kota Tangerang pernah diintervensi oleh DKPP di tahun 2013. DKPP mengalahkan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang, Provinsi Banten.
DKPP melakukan pemulihan hak konstitusional pasangan calon R. Wismansyah-Sachrudin. Padahal, Majelis Hakim PTUN Serang tengah memeriksa, mengadilan dan memutus perkara No. 23/G/2013/PTUN-SRG.
Contoh lain terkait tahapan Pemilu 2014. Putusan DKPP Nomor : 23-25/DKPPPKE-I/2012 yang memutuskan agar KPU mengikutsertakan 18 partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual untuk Pemilu 2014 menunjukan lembaga ini sebagai superbody.
Nantinya, DKPP bisa saja menghidupkan kewenangan untuk mengintervensi tahapan Pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU RI untuk Pemilu 2024.
Rumah Demokrasi menganggap bahwa romantisme DKPP sebagai “superbody” bisa saja muncul.
Padahal, putusan DKPP menurut MK telah tereduksi hanya sebagai keputusan Pejabat TUN yang setara dengan keputusan pejabat TUN lainnya dalam lingkungan penyelenggara pemilu.
"Yakni keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI atau keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI," tegasnya.
Dengan demikian, walaupun produk DKPP bernama putusan DKPP, namun sebenarnya adalah putusan Pejabat TUN yang dapat menjadi obyek TUN yang bersifat rekomendasi saja.
Fakta hukum ini ada tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-XI/2013 yang diuji oleh Ramdansyah dari Rumah Demokrasi.
Putusan MK membatalkan Pasal 112 ayat 12 UU No.15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Berdasarkan putusan MK tersebut, maka rekomendasi final dari DKPP yang bersifat final dan mengikat, tidak dapat memaksa lembaga penyelenggara kekuasaan negara lain, selain penyelenggara Pemilu dan Presiden.
Hebatnya, putusan MK tentang DKPP tersebut tidak hilang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, tetapi justru hidup kembali di Pasal 458 ayat (3) dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal 458 ayat (3) kemudian diuji kembali oleh mantan Ketua KPU Arief Budiman dan anggota KPU Evi Novida Ginting Manik.
Putusan MK No. 32/PUU-XIX/2021 memperkuat putusan MK sebelumnya (Nomor 31/PUU-XI/2013) yang diputus pada tanggal 29 Maret 2022 lalu.
Rumah Demokrasi melihat ada spekulasi kedua yakni retaknya komunikasi politik antara Pemerintah dengan elit politik yang menyebabkan penundaan pencalonan anggota DKPP usulan Pemerintah.
Mekanisme pengusungan nama calon DKPP oleh Pemerintah tidaklah serumit rekruitmen KPU RI dan Bawaslu RI.
Pemerintah tidak memerlukan waktu lama untuk mengusulkan nama-nama yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk menjadi anggota DKPP.
Pemerintah tidak harus berkonsultasi dengan elit politik, karena partai politik sudah diberi peluang sendiri oleh UU untuk mengajukan tiga nama.
Justru Keppres penundaan nama calon anggota DKPP hingga 3 bulan kedepan dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik, karena tahapan penting Pemilu dan Pilkada perlu pengawalan dari komisi pemilihan umum yang terdiri dari; KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP RI.
Jangan sampai tahapan yang sudah berjalan dapat diintervensi oleh DKPP yang berpotensi menjadi lembaga superbody.
Rumah Demokrasi mengharapkan tidak muncul Keppres lagi untuk penundaan masa jabatan DKPP ketika 3 bulan kedepan.
Pemerintah berhak menentukan sendiri 2 nama yang memiliki kredibilitas dan integritas sebagai penjaga kode etik Pemilu nantinya.
Kepastian hukum akan anggota DKPP tentunya dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap Pemilu 2024. *** 01