TWEETUP.ID - Sejumlah nelayan warga Pulau Lancang di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, pergi melaut pada Sabtu, 9 Januari 2021. Walau kondisi saat itu hujan deras, berkabut, dan gelombang air setinggi setengah sampai satu meter, mereka tetap mencari ikan dan rajungan. Hendrik, warga RT 03 RW 01, Pulau Lancang, tengah melaut bersama rekannya, Solihin. Dengan perahu kecil yang ditempeli mesin diesel, mereka pergi ke tengah laut sejak pagi buta.
Pada pukul 14.40 WIB, Hendrik dan Solihin tiba-tiba dikejutkan oleh suara dentuman yang begitu keras hingga memekakkan telinga mereka. Blarr…! Suara itu seperti ledakan yang berasal dari dalam air. Setelah terjadi ledakan, ombak sempat naik sekitar 10-15 meter. Sumber suara itu, kata Hendrik, terdengar dari jarak ratusan meter dari perahunya. Namun, baik Hendrik maupun Solihin tak mengetahui apa yang terjadi.
Karena panik, keduanya langsung ke darat dan melaporkan kejadian itu ke pengurus RT/RW serta polisi. “Itu jaraknya kurang-lebih 150 meter dari kapal saya. Berasa banget itu ledakannya. Melebihi bom itu menurut saya. Saya langsung panik, langsung balik ke pulau bawa kapal saya,” ungkap Hendrik saat ditemui detikX di Pulau Lancang, Minggu, 10 Januari 2021.
Empat nelayan lainnya yang tengah mencari bubu di antara Pulau Lancang dan Rawasaban juga mendengar ledakan kencang. Sebelum ledakan itu terjadi, mereka melihat sebuah pesawat terbang menukik tajam hingga membentur air laut dengan keras. Para nelayan tersebut melihat kejadian itu dari jarak 200-300 meter. Mereka semakin ketakutan karena, setelah ledakan itu, mereka melihat serpihan pesawat dan daging manusia mengambang.
“Kejadian antara pukul 14.30-15.00 WIB. Kalau menurut saksi yang melihat, pesawat jatuh itu jatuh ngebentur laut dan meledak di dalam air. Nelayan itu sampai nyebur, takut ketimpa puing-puing. Ini nelayan yang melihat sendiri. Sampai sekarang masih shock. Bicara saja masih ketakutan,” kata Japar, yang juga warga Pulau Lancang, saat dihubungi detikX, Sabtu, 9 Januari 2021.
Sedangkan di daratan, hampir sebagian besar warga Pulau Lancang tengah berada di dalam rumah hari itu karena hujan lebat dan angin kencang. Siang itu mereka juga dikejutkan oleh suara ledakan yang keras sekali. Awalnya mereka berpikir suara menggelegar itu adalah petir dan geluduk. “Pas dengar saya kaget. Ya Allah, suara apa itu, karena besar sekali seperti bom. Tapi saya dan anak-anak tidak keluar karena saya kira hanya petir di tengah hujan,” kata Junaenah, 40 tahun, warga Pulau Lancang, dikutip dari Antara, Senin, 11 Januari 2021.
Junaenah dan warga lainnya baru mendapat kabar dari para nelayan yang pulang melaut bahwa suara ledakan itu berasal dari pesawat terbang yang jatuh ke laut. Setelah itu, pukul 16.00 WIB, mereka menyaksikan berita bahwa pesawat Sriwijaya Air nomor register PK-CLC dengan rute Jakarta-Pontianak hilang kontak. Pesawat dengan nomor penerbangan SJ182 itu hilang kontak di sekitar Kepulauan Seribu.
“Nelayan yang baru pulang mengabarkan di sana (perairan Pulau Lancang-Pulau Laki) ada pesawat jatuh. Saya langsung ingat, oh mungkin itu yang siang tadi (saat hujan) saya kira petir besar,” ucap Marsu, Ketua RT 01 RW 01 Pulau Lancang. Setelah mendapatkan kabar itu, warga dikerahkan untuk melakukan pencarian dan evakuasi di lokasi jatuhnya pesawat milik Sriwijaya Air tersebut hingga pukul 21.00 WIB.
Pesawat Boeing 737-500 milik Sriwijaya hilang kontak setelah lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada Sabtu, 9 Januari 2021 pukul 14.36 WIB. Di dalam perut pesawat tersebut, terdapat 62 orang, yang terdiri atas 50 penumpang dan 12 kru pesawat. Dari 53 penumpang itu, terdapat 5 penumpang anak dan 1 bayi. Sebagian penumpang merupakan pindahan dari NAM Air.
Pesawat berkelir biru-merah-putih itu sempat mengalami delay 30 menit karena hujan deras di kawasan Bandara Soetta. Kementerian Perhubungan dalam keterangan resminya mengatakan, setelah take off pada pukul 14.36 WIB, pesawat yang dipiloti Kapten Afwan bin Zamzani dan kopilot Diego Mamahit dan Fadly Satrianto itu sempat melakukan kontak dengan Jakarta Approach ketika melewati ketinggian 1.700 kaki. Pesawat tersebut diizinkan naik ke ketinggian 29 ribu kaki sesuai dengan standard instrument departure.
Namun, setelahnya, pesawat tidak terbang ke arah yang ditentukan, yaitu 075 derajat. “Pada pukul 14.40 WIB, Jakarta Approach melihat Sriwijaya Air tidak ke arah 075 derajat, melainkan ke barat laut atau north west. Oleh karenanya, ATC menanyakan untuk melaporkan arah pesawat," kata juru bicara Kemenhub Adita Irawati, Sabtu, 9 Januari 2021. Tidak ada tanggapan, dalam hitungan detik, pesawat justru menghilang dari pantauan radar.
Situs pencatat penerbangan, FlightRadar24, menunjukkan, SJ182 hilang dari radar sekitar 4 menit setelah take off. Menjelang hilang dari radar itu, pesawat sempat mencapai ketinggian 10.900 kaki. Lantas, secara tiba-tiba, pesawat turun ke ketinggian 8.950 kaki, 5.400 kaki, hingga terakhir terpantau 250 kaki. Seluruh penurunan ketinggian itu terjadi dalam waktu 1 menit.
Jatuhnya pesawat nahas tersebut tidak langsung diketahui oleh otoritas terkait. Pasalnya, alat emergency locator transmitter (ELT) yang ditanam di bodi pesawat tidak memancarkan sinyal ke Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Sistem satelit yang dimiliki oleh Australia pun tidak menangkap sinyal itu. Jika ELT Sriwijaya memancarkan sinyal, dapat segera diberitahukan terjadinya kecelakaan pesawat. “Justru kami mendapat informasi dari AirNav terjadi lost contact jam sekian, jam sekian," kata Deputi Operasi dan Kesiapsiagaan Basarnas Bambang Suryo Aji.
Baru pada pukul 18.40 WIB, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memastikan pesawat Boeing 737-500 dengan nomor registrasi PK-CLC tersebut jatuh di dekat Pulau Laki, Kepulauan Seribu. Saat itu juga, Kemenhub langsung mengerahkan tujuh kapal patroli Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai untuk mencari badan pesawat dan korban. Lalu, seluruh kekuatan, termasuk dari Tentara Nasional Indonesia, dikerahkan untuk membantu pencarian. Korps Marinir TNI Angkatan Laut menerjunkan 17 personel Detasemen Jalamangkara (Denjaka) dan 14 personel Taifib dengan KRI Gilimanuk melakukan penyelaman ke titik jatuhnya pesawat.
Pada Minggu, 10 Januari 2021, sekitar pukul 09.30 WIB, tim SAR gabungan dari Denjaka berhasil menemukan serpihan-serpihan pesawat di antara Pulau Laki dan Pulau Lancang. Serpihan tersebut berupa pelat besi berukuran panjang sekitar 3 meter di kedalaman 16 meter. Tak lama kemudian, ditemukan serpihan bodi pesawat, serpihan mesin pesawat, dan hidrolik kabin penumpang. Serpihan tersebut diangkut ke Pelabuhan JICT, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sedangkan temuan-temuan potongan jenazah korban dibawa ke Rumah Sakit Polri Soekanto.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyatakan titik lokasi black box pesawat sudah ditemukan. Dua pancaran sinyal dari benda tersebut sudah ditandai dan hendak dicari oleh tim SAR. Dari kotak hitam pesawat itulah nanti dapat diketahui secara pasti penyebab jatuhnya pesawat. Selain menunggu black box, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) telah mengumpulkan beberapa bukti untuk mengurai penyebab kecelakaan SJ 182. Bukti itu antara lain transkrip percakapan antara pilot dan menara ATC Bandara Soekarno-Hatta sesaat sebelum musibah terjadi yang diserahkan AirNav.
“Kalau percakapannya itu sudah di ranah investigasi, saya nggak boleh membuka bahannya sudah diserahkan semua ke KNKT. Jadi mungkin mereka yang bisa menjelaskannya,” kata Kepala Humas AirNav Indonesia, Yohanes Sirait kepada detikX, Senin 11 Januari.
Tim investigasi KNKT juga mengumpulkan data mentah dari radar untuk dianalisis. KNKT pun menerjunkan tim ke lokasi kecelakaan. Penyelidikan akan dibantu lembaga-lembaga dari luar negeri. “KNKT juga sudah melakukan koordinasi dengan otoritas Amerika, yaitu NTSB, dan sudah ditunjuk Michael Holfs yang akan menjadi accredited representatif di investigasi kecelakaan pesawat ini,” kata Ketua Subkomite IK Penerbangan KNKT Capt Nurcahyo Utomo, Minggu, 10 Januari. (detikx)
#pesawatjatuh #sriwijayaair #pencariankorban #KNKT #Basarnas #puingpuing