masukkan script iklan disini
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Heryawan |
Menurut anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Heryawan, lonjakan kasus baru menjadi sinyal bahaya bagi datangnya gelombang kedua setelah pemerintah gencar menerapkan kebijakan new normal.
“Lonjakan kasus baru harus ditanggapi serius oleh pemerintah. Ini menjadi salah satu bukti bahwa terjadi penularan yang tinggi,” kata Netty usai memberikan Sosialisasi Program Pembangunan Keluarga BKKBN, di Indramayu, Jum’at (12/6/2020).
“Apalagi saat ini pelayanan kesehatan nasional kita tidak mencukupi, surveillance dan testing juga masih sangat rendah, jadi sangat bahaya kalau tiba-tiba kasus baru melonjak drastis seiring dengan adanya new normal,” tambahnya.
Netty menyesalkan wacana new normal yang ramai dibincangkan tanpa definisi yang jelas. Bahkan pemerintah daerah pun memaknainya secara beragam.
“Ini gambaran penyelenggaraan pemerintahan yang tidak mendasarkan kebijakan pada parameter saintifik yang terukur. Jangan buat kebijakan yang non scientific populism. Asal populer dan hanya berujung pada euforia masyarakat yang kebablasan,” katanya.
Kekhawatiran Netty ini wajar mengingat beberapa waktu sebelumnya sebuah survei dan penelitian yang dilakukan Deep Knowledge Group yang didirikan di Hong Kong, melaporkan 100 negara yang dianggap paling aman di dunia dari infeksi Covid-19. Dari jumlah 100 negara, Indonesia berada pada posisi 97, hanya lebih aman dari negara Kamboja, Laos dan Bahama.
“Dari data tersebut kita dapat melihat bahwa negara kita tidak berada pada posisi yang aman. Kita bahkan jauh tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Singapura, Vietnam, Malaysia dan Thailand,” terang Netty.
Selain itu menurut Netty, pembagian zonasi daerah untuk menerapkan new normal juga menyesatkan. Menurutnya, Indramayu yang tadinya memiliki 4 kasus positif ditetapkan sebagai zona merah, tapi ketika kasusnya bertambah jadi 22 di daerah yang sama justru masuk kategori zona kuning-orange.
Oleh karena itu, Netty berharap pemerintah segara mengetatkan kembali PSBB jika lonjakan kasus baru semakin tidak terkendali.
“Tidak perlu malu merevisi dan mengevaluasi kebijakan, jika itu untuk keselamatan rakyat. Jangan hanya senang melakukan gimmick dan meninggalkan substansi,” pintanya.
“Banyak kok negara-negara yang melakukan pembatasan kembali dengan ditemukannya kasus baru setelah pelonggaran, jadi jangan sampai kita mengorbankan kesehatan rakyat,” kata Netty.
Hal lain yang juga patut dikritisi adalah kemampuan pemerintah melibatkan dan mengedukasi masyarakat dengan beragam indeks literasi dan akses informasi.
“Jangan salahkan jika masyarakat menunjukkan sikap tidak peduli dan masa bodoh. Bahkan gejala civil disobedience muncul di mana-mana, seperti menolak dijemput dan dibawa ke RS, mengambil paksa jenazah keluarga, dan menolak pemakaman dengan standar Covid-19,” kata dia.
Netty pun mengimbau masyarakat agar tetap waspada karena bahaya Covid-19 masih mengintai. “Protokol kesehatan harus tetap ketat. Jangan lupa untuk terus mempertahankan daya tahan tubuh dengan asupan yang bergizi. Jaga diri, keluarga, dan lingkungan kita,” tandasnya. (swa)