masukkan script iklan disini
TWEETUP.ID - Kehadiran Raja Belanda Willem-Alexander menambah panjang tamu negara yang berkunjung ke Keraton Yogyakarta, Rabu (11/3/2020). Di balik makna yang tersirat dari busana Sultan, rakyat menanti pertemuan semacam ini tak sekadar silaturahmi.
Sultan HB X berdiri menunggu kedatangan Raja Belanda Willem-Alexander dan sang istri, Ratu Maxima, Rabu kemarin. Tak jauh dari Sultan, puluhan prajurit Bregada Mantrijero berbaris di halaman pasir yang ada di dalam kompleks Keraton Yogyakarta.
Mereka memakai seragam keprajuritan lengkap dengan senjata, bendera, dan alat musik. Meski terik surya menyengat, para prajurit tetap berdiri di pintu gerbang, Regol Danapratapa.
Saat menanti Raja Willem-Alexander, Sultan mengenakan baju surjan warna merah muda dengan motif bunga-bunga dan kain batik untuk bawahan. Sultan HB X juga mengenakan penutup kepala warna hitam yang disebut kuluk kanigoro.
Di lingkungan keraton, baju ini juga dikenal dengan nama baju takwa. Sebagai pemadu baju takwa, Sultan mengenakan kain batik untuk bawahan. Kunjungan ke Keraton Yogyakarta itu merupakan bagian dari kunjungan kenegaraan Raja Willem-Alexander ke Indonesia selama beberapa hari terakhir.
Busana Sultan HB X itu berbeda dengan pakaian ketika menerima beberapa tamu negara sebelumnya. Saat menerima Raja Malaysia, Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong XVI Al-Sultan Abdullah Ri’ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah, pada 28 Agustus 2019, Sultan mengenakan kemeja batik lengan panjang.
Batik lengan panjang itu pula yang dikenakan Sultan HB X ketika menyambut Putri Mahkota Kerajaan Denmark Mary Elizabeth pada 4 Desember 2019 serta Presiden Singapura Halimah Yacob pada 5 Februari 2020.
Adapun saat menerima kunjungan Ratu Denmark Margrethe II pada 24 Oktober 2015, Sultan HB X mengenakan baju takwa dan penutup kepala berupa blangkon.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Bayu Dardias, menilai, pemakaian baju takwa dan kuluk kanigoro itu menunjukkan adanya penghormatan yang lebih kepada Raja Willem-Alexander.
Sebab, baju takwa dan kuluk kanigoro merupakan pakaian yang hanya dikenakan oleh Sultan pada momen-momen tertentu.
”Menurut saya, pemakaian busana semacam itu merupakan bentuk penghormatan,” kata Bayu yang menyelesaikan disertasinya tentang raja-raja Nusantara di Australian National University. Dia menyebutkan, penghormatan kepada Raja Willem-Alexander itu kemungkinan didasari oleh sejarah panjang Kerajaan Belanda dan Keraton Yogyakarta.
Namun, di sisi lain, kunjungan Raja Willem-Alexander itu juga kian meneguhkan arti penting Keraton Yogyakarta sebagai institusi kerajaan tradisional di Indonesia. Sebab, kedatangan Raja Willem-Alexander itu menambah daftar panjang tamu negara yang berkunjung ke Keraton Yogyakarta.
Jaringan politik
Bayu memaparkan, kunjungan berbagai tamu negara ini juga menunjukkan bahwa Keraton Yogyakarta memiliki pengaruh politik yang cukup besar di Indonesia. ”Kedatangan tamu-tamu negara itu bisa menunjukkan political power (kekuatan politik) yang dimiliki Keraton Yogyakarta dalam konteks nasional,” katanya.
Bayu menambahkan, kedatangan tamu-tamu negara itu juga menjadi indikasi bahwa Keraton Yogyakarta sudah memiliki jejaring internasional yang kuat. Namun, dia mengingatkan, kedatangan tamu-tamu negara ke Keraton Yogyakarta itu seharusnya bisa memberi manfaat yang lebih luas bagi masyarakat Yogyakarta.
Oleh karena itu, kedatangan para tamu negara tersebut mestinya ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi DIY agar ada kerja sama riil yang dihasilkan. Salah satu bentuk kerja sama yang bisa dihasilkan dari kedatangan para tamu tersebut adalah masuknya investasi dari negara lain ke DIY.
”Kedatangan para tamu negara itu diharapkan tidak hanya untuk kunjungan, tetapi ada misi yang lain, misalnya misi ekonomi,” ungkap Bayu.
Sementara itu, berdasarkan pantauan Kompas, Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima kemarin tiba di Keraton Yogyakarta pukul 10.55. Rombongan raja dan ratu itu masuk melalui pintu gerbang yang disebut Regol Pancaniti. Keduanya lalu disambut oleh sejumlah putri Sultan HB X, misalnya Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, GKR Condrokirono, dan GKR Maduretno beserta beberapa kerabat keraton lain.
Sesudah itu, Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima berjalan melewati Bangsal Srimanganti dan disambut oleh Sultan HB X dan sang istri, GKR Hemas. Kedua raja itu bersalaman di depan Regol Danapratapa, tak jauh dari barisan para prajurit Mantrijero.
Raja Belanda dan rombongan kemudian diajak menuju Gedhong Jene, yakni ruang pertemuan di Keraton Yogyakarta yang biasa dipakai untuk menerima tamu-tamu kenegaraan. Di ruang ini, Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima melakukan pertemuan dengan Sultan HB X, GKR Hemas, beserta keluarga.
Sesudah pertemuan, Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima mengikuti sesi foto bersama Sultan HB X dan kerabat keraton di depan Gedhong Jene. Dalam kesempatan itu, Sultan HB X dan Raja Willem-Alexander juga bertukar cendera mata. Setelah itu, Raja Willem-Alexander diajak melihat berbagai benda koleksi milik Keraton Yogyakarta.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pementasan tari Lawung Ageng yang merupakan ciptaan raja pertama Keraton Yogyakarta, Sultan HB I. Pementasan tari itu digelar di Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta.
Seusai pementasan tersebut, acara dilanjutkan dengan makan siang bersama di Bangsal Manis. Seusai makan siang, Raja Willem-Alexander dan rombongan meninggalkan Keraton Yogyakarta untuk menuju ke lokasi kunjungan lain.
Silaturahmi
Duta Besar Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja mengatakan, kunjungan Raja Willem-Alexander ke Keraton Yogyakarta merupakan kunjungan kehormatan. Puja menuturkan, kunjungan itu juga lebih dimaksudkan sebagai silaturahmi di antara keluarga dua kerajaan.
“Saya rasa kunjungan ini lebih untuk silaturahmi dua keluarga raja. Makanya, anggota keluarga juga ikut dalam pertemuan,” ungkap Puja.
Puja menambahkan, kunjungan Raja Willem-Alexander ke Indonesia memiliki arti penting, terutama di bidang ekonomi. Sebab, dalam kunjungan itu, Raja Willem-Alexander juga mengajak sekitar 190 pengusaha dari Belanda.
”Jadi, dalam kunjungan ini, hubungan ekonomi mendapat porsi yang besar, baik untuk investasi, perdagangan, maupun pariwisata,” tutur Puja.
Sementara itu, Sultan HB X mengatakan, tidak ada pembicaraan khusus dalam pertemuan dengan Raja Willem-Alexander.
Dia menambahkan, dalam kunjungan itu, juga tidak dibicarakan mengenai upaya pengembalian barang-barang milik Keraton Yogyakarta yang ada di Belanda.
”Enggak ada pembicaraan khusus. Kami hanya sekadar ngobrol saja,” ujar Sultan yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Meski begitu, Sultan berharap barang-barang milik bangsa Indonesia, termasuk naskah-naskah kuno, yang dulu dijarah oleh orang-orang Belanda bisa dikembalikan. Apalagi, Pemerintah Belanda juga baru mengembalikan keris milik Pangeran Diponegoro ke Indonesia.
”Kalau bisa tidak hanya itu (keris Pangeran Diponegoro), tetapi mungkin naskah dan barang-barang lain juga bisa dikembalikan. Itu, kan, penting untuk sejarah bangsa ini,” ungkap Sultan.
Sultan menuturkan, sebelum kunjungan ini, Raja Willem-Alexander pernah datang ke Keraton Yogyakarta tahun 1995. Namun, dalam kunjungan sebelumnya itu, Willem-Alexander belum menjadi raja. Saat itu dia datang bersama sang ibu, Ratu Beatrix, yang menjadi pemimpin Kerajaan Belanda pada masa tersebut.
”Beliau dulu, kan, pernah ikut ibunya, Ratu Beatrix, pada waktu ke sini. Sekarang beliau datang ke sini dengan posisi yang sudah berbeda,” ungkap Sultan.
Berdasarkan arsip pemberitaan harian Kompas, Ratu Beatrix bersama rombongannya mengunjungi Keraton Yogyakarta pada 25 Agustus 1995.
Dalam kunjungan itu, Ratu Beatrix disambut Sultan HB X bersama GKR Hemas. Salah seorang kerabat keraton yang juga ikut menyambut adalah paman Sultan HB X, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Poeger.
Dalam kunjungan tersebut, Ratu Beatrix beserta suami dan putranya diajak berkeliling melihat benda-benda pusaka keraton serta mengunjungi Museum Sultan HB IX yang ada di kompleks Keraton Yogyakarta.
Meski demikian, lebih dari silaturahmi, masyarakat DI Yogyakarta sebenarnya menanti dampak langsung kunjungan para pemimpin negara lain semacam ini, termasuk di sektor ekonomi. Dengan begitu, keraton tak sekadar berperan sebagai lembaga kultural, tetapi sungguh ikut menyejahterakan rakyatnya.
#Baju Takwa, #Kuluk Kanigoro, #Sultan HB X, #Raja Willem Alexander, #Ratu Beatrix, #Keraton Yogyakarta,
Sultan HB X berdiri menunggu kedatangan Raja Belanda Willem-Alexander dan sang istri, Ratu Maxima, Rabu kemarin. Tak jauh dari Sultan, puluhan prajurit Bregada Mantrijero berbaris di halaman pasir yang ada di dalam kompleks Keraton Yogyakarta.
Mereka memakai seragam keprajuritan lengkap dengan senjata, bendera, dan alat musik. Meski terik surya menyengat, para prajurit tetap berdiri di pintu gerbang, Regol Danapratapa.
Saat menanti Raja Willem-Alexander, Sultan mengenakan baju surjan warna merah muda dengan motif bunga-bunga dan kain batik untuk bawahan. Sultan HB X juga mengenakan penutup kepala warna hitam yang disebut kuluk kanigoro.
Di lingkungan keraton, baju ini juga dikenal dengan nama baju takwa. Sebagai pemadu baju takwa, Sultan mengenakan kain batik untuk bawahan. Kunjungan ke Keraton Yogyakarta itu merupakan bagian dari kunjungan kenegaraan Raja Willem-Alexander ke Indonesia selama beberapa hari terakhir.
Busana Sultan HB X itu berbeda dengan pakaian ketika menerima beberapa tamu negara sebelumnya. Saat menerima Raja Malaysia, Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong XVI Al-Sultan Abdullah Ri’ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah, pada 28 Agustus 2019, Sultan mengenakan kemeja batik lengan panjang.
Batik lengan panjang itu pula yang dikenakan Sultan HB X ketika menyambut Putri Mahkota Kerajaan Denmark Mary Elizabeth pada 4 Desember 2019 serta Presiden Singapura Halimah Yacob pada 5 Februari 2020.
Adapun saat menerima kunjungan Ratu Denmark Margrethe II pada 24 Oktober 2015, Sultan HB X mengenakan baju takwa dan penutup kepala berupa blangkon.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Bayu Dardias, menilai, pemakaian baju takwa dan kuluk kanigoro itu menunjukkan adanya penghormatan yang lebih kepada Raja Willem-Alexander.
Sebab, baju takwa dan kuluk kanigoro merupakan pakaian yang hanya dikenakan oleh Sultan pada momen-momen tertentu.
”Menurut saya, pemakaian busana semacam itu merupakan bentuk penghormatan,” kata Bayu yang menyelesaikan disertasinya tentang raja-raja Nusantara di Australian National University. Dia menyebutkan, penghormatan kepada Raja Willem-Alexander itu kemungkinan didasari oleh sejarah panjang Kerajaan Belanda dan Keraton Yogyakarta.
Namun, di sisi lain, kunjungan Raja Willem-Alexander itu juga kian meneguhkan arti penting Keraton Yogyakarta sebagai institusi kerajaan tradisional di Indonesia. Sebab, kedatangan Raja Willem-Alexander itu menambah daftar panjang tamu negara yang berkunjung ke Keraton Yogyakarta.
Jaringan politik
Bayu memaparkan, kunjungan berbagai tamu negara ini juga menunjukkan bahwa Keraton Yogyakarta memiliki pengaruh politik yang cukup besar di Indonesia. ”Kedatangan tamu-tamu negara itu bisa menunjukkan political power (kekuatan politik) yang dimiliki Keraton Yogyakarta dalam konteks nasional,” katanya.
Bayu menambahkan, kedatangan tamu-tamu negara itu juga menjadi indikasi bahwa Keraton Yogyakarta sudah memiliki jejaring internasional yang kuat. Namun, dia mengingatkan, kedatangan tamu-tamu negara ke Keraton Yogyakarta itu seharusnya bisa memberi manfaat yang lebih luas bagi masyarakat Yogyakarta.
Oleh karena itu, kedatangan para tamu negara tersebut mestinya ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi DIY agar ada kerja sama riil yang dihasilkan. Salah satu bentuk kerja sama yang bisa dihasilkan dari kedatangan para tamu tersebut adalah masuknya investasi dari negara lain ke DIY.
”Kedatangan para tamu negara itu diharapkan tidak hanya untuk kunjungan, tetapi ada misi yang lain, misalnya misi ekonomi,” ungkap Bayu.
Sementara itu, berdasarkan pantauan Kompas, Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima kemarin tiba di Keraton Yogyakarta pukul 10.55. Rombongan raja dan ratu itu masuk melalui pintu gerbang yang disebut Regol Pancaniti. Keduanya lalu disambut oleh sejumlah putri Sultan HB X, misalnya Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, GKR Condrokirono, dan GKR Maduretno beserta beberapa kerabat keraton lain.
Sesudah itu, Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima berjalan melewati Bangsal Srimanganti dan disambut oleh Sultan HB X dan sang istri, GKR Hemas. Kedua raja itu bersalaman di depan Regol Danapratapa, tak jauh dari barisan para prajurit Mantrijero.
Raja Belanda dan rombongan kemudian diajak menuju Gedhong Jene, yakni ruang pertemuan di Keraton Yogyakarta yang biasa dipakai untuk menerima tamu-tamu kenegaraan. Di ruang ini, Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima melakukan pertemuan dengan Sultan HB X, GKR Hemas, beserta keluarga.
Sesudah pertemuan, Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima mengikuti sesi foto bersama Sultan HB X dan kerabat keraton di depan Gedhong Jene. Dalam kesempatan itu, Sultan HB X dan Raja Willem-Alexander juga bertukar cendera mata. Setelah itu, Raja Willem-Alexander diajak melihat berbagai benda koleksi milik Keraton Yogyakarta.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pementasan tari Lawung Ageng yang merupakan ciptaan raja pertama Keraton Yogyakarta, Sultan HB I. Pementasan tari itu digelar di Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta.
Seusai pementasan tersebut, acara dilanjutkan dengan makan siang bersama di Bangsal Manis. Seusai makan siang, Raja Willem-Alexander dan rombongan meninggalkan Keraton Yogyakarta untuk menuju ke lokasi kunjungan lain.
Silaturahmi
Duta Besar Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja mengatakan, kunjungan Raja Willem-Alexander ke Keraton Yogyakarta merupakan kunjungan kehormatan. Puja menuturkan, kunjungan itu juga lebih dimaksudkan sebagai silaturahmi di antara keluarga dua kerajaan.
“Saya rasa kunjungan ini lebih untuk silaturahmi dua keluarga raja. Makanya, anggota keluarga juga ikut dalam pertemuan,” ungkap Puja.
Puja menambahkan, kunjungan Raja Willem-Alexander ke Indonesia memiliki arti penting, terutama di bidang ekonomi. Sebab, dalam kunjungan itu, Raja Willem-Alexander juga mengajak sekitar 190 pengusaha dari Belanda.
”Jadi, dalam kunjungan ini, hubungan ekonomi mendapat porsi yang besar, baik untuk investasi, perdagangan, maupun pariwisata,” tutur Puja.
Sementara itu, Sultan HB X mengatakan, tidak ada pembicaraan khusus dalam pertemuan dengan Raja Willem-Alexander.
Dia menambahkan, dalam kunjungan itu, juga tidak dibicarakan mengenai upaya pengembalian barang-barang milik Keraton Yogyakarta yang ada di Belanda.
”Enggak ada pembicaraan khusus. Kami hanya sekadar ngobrol saja,” ujar Sultan yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Meski begitu, Sultan berharap barang-barang milik bangsa Indonesia, termasuk naskah-naskah kuno, yang dulu dijarah oleh orang-orang Belanda bisa dikembalikan. Apalagi, Pemerintah Belanda juga baru mengembalikan keris milik Pangeran Diponegoro ke Indonesia.
”Kalau bisa tidak hanya itu (keris Pangeran Diponegoro), tetapi mungkin naskah dan barang-barang lain juga bisa dikembalikan. Itu, kan, penting untuk sejarah bangsa ini,” ungkap Sultan.
Sultan menuturkan, sebelum kunjungan ini, Raja Willem-Alexander pernah datang ke Keraton Yogyakarta tahun 1995. Namun, dalam kunjungan sebelumnya itu, Willem-Alexander belum menjadi raja. Saat itu dia datang bersama sang ibu, Ratu Beatrix, yang menjadi pemimpin Kerajaan Belanda pada masa tersebut.
”Beliau dulu, kan, pernah ikut ibunya, Ratu Beatrix, pada waktu ke sini. Sekarang beliau datang ke sini dengan posisi yang sudah berbeda,” ungkap Sultan.
Berdasarkan arsip pemberitaan harian Kompas, Ratu Beatrix bersama rombongannya mengunjungi Keraton Yogyakarta pada 25 Agustus 1995.
Dalam kunjungan itu, Ratu Beatrix disambut Sultan HB X bersama GKR Hemas. Salah seorang kerabat keraton yang juga ikut menyambut adalah paman Sultan HB X, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Poeger.
Dalam kunjungan tersebut, Ratu Beatrix beserta suami dan putranya diajak berkeliling melihat benda-benda pusaka keraton serta mengunjungi Museum Sultan HB IX yang ada di kompleks Keraton Yogyakarta.
Meski demikian, lebih dari silaturahmi, masyarakat DI Yogyakarta sebenarnya menanti dampak langsung kunjungan para pemimpin negara lain semacam ini, termasuk di sektor ekonomi. Dengan begitu, keraton tak sekadar berperan sebagai lembaga kultural, tetapi sungguh ikut menyejahterakan rakyatnya.
#Baju Takwa, #Kuluk Kanigoro, #Sultan HB X, #Raja Willem Alexander, #Ratu Beatrix, #Keraton Yogyakarta,