masukkan script iklan disini
Stand PPM pada acara HPSN 2020 di Gedung Sate |
“Olah sampah adalah fardhu kifayah. Apabila suatu kewajiban terpenuhi oleh sebagian masyarakat, maka gugur kewajiban masyarakat yang lain. Sebaliknya jika kewajiban tersebut belum terpenuhi, maka dosa seluruh masyarakat,” katanya di acara Japri bertajuk peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2020 Gedung Sate, Bandung, Selasa (25/2/2020).
Untuk itu, mulailah hidup tertib, buanglah sampah pada tempatnya, pisahkan sampah organik dan non organik sebelum di buang. Instrumen yang mengatur tentang pengolahan sampah ada Undang-Undang No 18 tahun 2018 tentang Pengolahan Persampahan.
Instrumen itu juga juga yang mendasari Ardhi –panggilan karib dari Muhammad Ardhi Elmeidian, peduli tumpukan sampah, tepatnya sampah organik. Pilihan yang saat itu, bagian sebagian besar orang dinilai nyeleneh.
Kepedulian akan keberadaan sampah organik itu, mulai menampakkan geliatnya sekitar tahun 2009, tepatnya saat ada pertemuan perkumpulan peduli sampah –saat itu kalau tidak salah namanya Forum Hijau Bandung.
“Nggak ada tuh yang fokus, kesampah organik, kayaknya dulu itu saya sendirian, sekarang banyak,” katanya.
Dalam kegiatan tersebut, Ardhi meyakini dirinya untuk fokus ke sampah organik. “Waktu itu sih, belum tahun juga, maggot kayak gimana, gitu. Nggak kepikiran juga mau bikin biokonspersi BSF,” ungkapnya.
Berkat tekad Ardhi bergelut dengan sampah organik itu, tahun 2014 dia bertemu dan berteman akrab dengan Prof Agus Pakpahan, dan pakar lalat tentara hitam (Black Soldier Fly) itu menjelaskan bahwa sampah organik itu bisa dikonfersi menjadi pakan ternak.
“Ujung-ujungnya, bahkan bisa meningkatkan IQ manusia. Tetapi, bukan karena maggotnya yang dimakan, kalau doyan nggak apa-apa,” candanya.
Ketekunan Ardhi fokus di dunia sampah organik semakin menemukan titik picunya, saat pakar lalat tentara hitam itu menjelaskan bahwa kadar IQ orang indonesia rendah, nomor 6 di dunia, penyebabnya kurang protein.
“Prof mengatakan demikian, sesuai buku berbahasa Inggris yang pernah dibacanya tahun 2000-an. Judul buku itu, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tentang kesehatan suatu negara,” katanya.
Penjelasan dalam buku tersebut menurut Prof Agus ada benarnya, sebab dia pernah melakukan penelitian tentang protein.
“Dia coba ternak bebek, ternyata bebek itu harga pakannya mahal. Kalau kata peternak, FCR nya nggak masuk,” katanya.
Sampai akhirnya, Prof Agus menyampaikan bahwa ada pakan murah yang bisa membuat peternak terbantu, FCR nya murah, dan itulah maggot yang berasal dari lalat tentara hitam alias Black Soldier Fly.
“Lalat ini, yang sanggup mengurangi limbah organik hampir separuhnya dan berpotensi bisnis,” pungkasnya.
Edo, anggota komunitas maggot yang membangun bisnis maggot di sekitar kawasan Jl Padjajaran menjelaskan budidaya maggot tidak sulit, asal ada kemauan pasti bisa.
“Saya juga baru sih. Tetapi kata teman-teman anggota komunitas memang tidak sulit. Asal bisa menjaga suhu ruangan pasti panennya bagus,” pungkasnya. (Ris)