masukkan script iklan disini
Gapura Bajang Ratu yang diperkirakan dibangun
di abad ke-14 adalah salah satu gapura besar dari era keemasan
Majapahit.(foto/www.komunikasi.um.ac.id)
|
TWETTUP.ID - Mencapai puncak keemasannya di abad
ke-14, kejayaan Majapahit berangsur-angsur melemah digerogoti pertentangan
internal yang sebelumnya selalu bisa diredam.
Sepeninggal Gajah Mada pada tahun 1364 dan menyusul
kemudian Hayam Wuruk di tahun 1389, Majapahit kehilangan panutannya dan segera
terbenam pada konflik rebutan tahta penuh darah.
Salah satunya adalah Perang Paregreg yang menjadi
perang paling merusak dalam sejarah Majapahit. Paregreg diartikan sebagai
‘bertahap dan berkelanjutan’ dengan pemenang yang silih berganti.
Urung menyunting Dyah Pitaloka setelah peristiwa di
Bubat, Hayam Wuruk akhirnya menikahi Sri Sudewi yang bergelar Paduka Sori
setelah menjadi permaisuri.
Putri ini terhitung masih sepupu Hayam Wuruk buah
perkawinan Rajadewi dengan Wijayarajasa Bhre Wengker. Rajadewi adalah adik
kandung Tribhuwana Wijayatunggadewi ibu Hayam Wuruk.
Baik Rajadewi maupun Tribhuana, keduanya adalah
sama-sama anak Gayatri, putri Kertanegara raja terakhir Singasari yang
dipersunting Sangrama Wijaya, pendiri Majapahit.
Dari perkawinan Hayam Wuruk dengan Paduka Sori itulah
lahir Kusumawardhani, sementara dari istri selirnya lahir anak laki-laki yang
diberi nama Wirabhumi.
Sepeninggal Hayam Wuruk, Kusumawardani dan suaminya
Wikramawardana inilah yang kemudian ditunjuk secara berdampingan memerintah
Majapahit.
Wikramawardhana dalam Pararaton disebut
sebagai Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama namun nama aslinya adalah Raden Gagak Sali.
Ia beribu Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk yang menjabat sebagai Bhre Pajang.
Sementara itu selain diangkat sebagai anak oleh
Rajadewi, Wirabhumi juga dinikahkan dengan cucunya, anak Indudewi Bhre Lasem
bernama Nagarawardhani. Wirabhumi juga ditunjuk mewarisi kedudukan Rajadewi.
Ketika Indudewi meninggal dunia, jabatan Bhre Lasem
diserahkan pada putrinya Nagarawardhani. Menjadi masalah karena saat yang
bersamaan Wikramawardhana juga mengangkat Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem.
Menggambarkan matahari kembar itu, Pararaton
menyebut ada dua orang Bhre Lasem yakni Bhre Lasem Sang Alemu istri Bhre
Wirabhumi, dan Bhre Lasem Sang Ahayu istri Wikramawardhana.
Ketika akhirnya Nagarawardhani dan Kusumawardhani
sama-sama meninggal pada tahun 1400, secara sepihak Wikramawardhana mengangkat
menantunya sebagai Bhre Lasem yang baru.
Sengketa jabatan inilah yang belakangan memicu perang
dingin antara Wikramawardana dan Wirabumi yang berujung pertengkaran. Keduanya
bahkan mulai tak bertegur sapa sejak tahun 1401 yang berpuncak dengan
meletusnya Perang Paregreg.
Perang Paregreg memasuki tahap akhir ketika tahun 1406
tentara Majapahit yang dipimpin Bhre Tumapel putra Wikramawardhana menyerbu
pusat kerajaan di timur.
Bhre Wirabhumi yang kalah dan melarikan diri
menggunakan perahu di malam hari berhasil ditangkap dan dibunuh Raden Gajah
yang menjabat sebagai ratu angabhaya di istana barat. Ia juga yang membawa
kepala Bhre Wirabhumi ke barat sekaligus mencandikannya di Lung bernama Girisa
Pura.
Keraton Baru
Sebenarnya, tanda-tanda terpecahnya Majapahit sudah
mulai terlihat di era pemerintahan Hayam Wuruk ketika Wijayarajasa membangun
keraton timur di Pamotan sepeninggal Gajah Mada, Rajadewi dan
Tribuanatunggadewi.
Pararaton menggambarkan peristiwa itu sebagai
munculnya ‘gunung baru’ di tahun 1376 yang ditafsirkan sebagai munculnya
kerajaan baru. Cerita itu dibenarkan kronik Cina dari era Dinasti Ming yang
menyebut pada tahun 1377 di Jawa ada dua kerajaan merdeka yang sama-sama
mengirim duta ke Cina.
Sumber Cina itu menyebut Hayam Wuruk sebagai
Wu-lao-po-wu, dan menyebut Wijayarajasa di timur sebagai Wu-lao-wang-chieh.
Meski berebut pengaruh hubungan keraton barat dan
timur terjaga tetap harmonis karena bagaimanapun Wijayarajasa adalah mertua
Hayam Wuruk. Sepeninggal kedua tokoh itulah perselisihan pecah menjadi konflik
terbuka.
Di sisi lain meski Paregreg berbuah penyatuan kembali
Majapahit, perang itu membuat banyak daerah-daerah bawahan di luar Jawa yang
melepaskan diri.
Perang saudara yang berlarut membuat Majapahit tak
punya tentara yang cukup dan tangguh untuk menindak mereka yang melepaskan
diri.
Wikramawardana kemudian digantikan putrinya, Dyah
Suhita yang memerintah sejak 1427 sampai dengan 1447. Tak meninggalkan putra
mahkota, Dyah Suhita digantikan adik tirinya yakni Kertawijaya, anak
Wikramawardana dari istri selirnya.
Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa
dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara menyebut Kertawijaya
adalah raja Majapahit pertama yang bukan keturunan Sanggramawijaya atau Raden
Wijaya. Silih berganti tahta Majapahit diduduki oleh berbagai raja dari
beberapa keluarga sebelum kemudian jatuh oleh Demak.
Memerintah sampai tahun 1951, Kertawijaya kemudian
digantikan Rajasawardhana Sang Sinagara sampai ia mangkat tahun 1453. Sempat
kosong selama tiga tahun, Girisawardhana Dyah Suryawikrama atau Hyang
Purwawisesa naik tahta tahun 1456 dan memerintah sampai 1466.
Girisawardhana digantikan oleh Bhre Pandan Alas yang
identik dengan Dyah Suprabawa yang memerintah selama dua tahun sebelum akhirnya
meninggalkan keraton pada tahun 1468. Paraton menyebut raja ini meninggal di
dalam keraton.
Meski Pararaton tak menyebut siapa penggantinya, namun
dari Prasasti Jiyu bisa diketahui bahwa raja selanjutnya adalah Singawardhana
yang memerintah di Majapahit sejak 1468 sampai dengan 1474.
Sesudah Singawardhana, Majapahit diperintah oleh Bhre
Kertabhumi. Pararaton memang tak menyebut alasannya, namun bisa dipastikan
Kertabhumi naik tahta dengan kudeta. Sebagai anak Rajasawardhana, ia merasa
lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya, Singawardhana.
Sudarma Wisuta
Kerthabumi yang memerintah Majapahit sampai tahun 1478
namanya diabadikan sebagai candrasengkala dalam Serat Kanda untuk
menyatakan lenyapnya Majapahit akibat serangan tentara Demak dengan sirna-ilang-kertining-bumi atau
tahun 1400 saka.
Kronik Cina yang tersimpan di klenteng Sam Po Kong
Semarang menulis raja Majapahit terakhir dan ditawan oleh tentara Demak ialah
Kung-ta-bu-mi.
Mendasarkan dari penelitian Residen Poortman pada
kronik Cina yang ditemukan di klenteng Sam Po Kong di Semarang, Slamet Mulyana
meyakini Kertabhumi sebagai raja Majapahit terakhir.
Ia juga menyebut setelah 1478, Majapahit menjadi
negara bawahan Kasultanan Demak di bawah kekuasaan Panembahan Jimbun alias
Raden Patah.
Panembahan Jimbun alias al-Fatah yang
berarti ‘pemenang’ atau conqueror adalah anak Kertabhumi yang
lahir dari putri Cina yang diasuh oleh Arya Damar alias Swan Liong, kapten Cina
di Palembang.
Arya Damar ini adalah anak Wikramawardhana dari istri
selir yang juga lahir dari putri Cina.
Kronik Cina itu juga menyebut pada tahun 1478 Jimbun
menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo atau
Bintara di Demak. Penyerbuan ini menandai akhir dari Majapahit sebagai negara
merdeka dan tunduk pada kekuasaan Demak.
Lebih lanjut Slamet Mulyana menyebut di masa post-period Majapahit itu,
Jimbun mengangkat seorang Cina muslim sebagai penguasa Majapahit yakni Njoo Lay
Wa. Namun pemerintahan itu hanya bertahan selama delapan tahun akibat
pemberontakan bekas rakyat Majapahit. Ia mati terbunuh tahun 1489.
Sadar bahwa orang-orang Majapahit tak suka diperintah
penguasa Cina, setelah pembunuhan itu Jimbun mengangkat Dyah Ranawijaya sebagai
penguasa baru. Ranawijaya yang bergelar Girindrawardhana adalah menantu
Kertabhumi sekaligus ipar Jimbun yang memerintah hingga tahun 1527.
Prasasti Jiyu menyebut gelar Dyah Ranawijaya adalah
Sri Wilwatikta Jenggala Kediri, yang artinya penguasa Majapahit, Jenggala, dan
Kediri. Ini membuktikan bahwa tahun 1486 tersebut kekuasaan Bhre Kertabhumi di
Majapahit telah jatuh pula ke tangan Ranawijaya.
Di sisi lain, umumnya naskah-naskah babad dan serat
menyebut perang Majapahit dan Demak hanya terjadi sekali yakni pada tahun 1478
yang menyebutnya sebagai Perang Sudarma Wisuta atau perang antara ayah melawan
anak.
Babad dan serat tak menyebut lagi perang antara
Majapahit dan Demak sesudah tahun itu, padahal menurut catatan penjelajah
Portugis dan kronik Cina perang terjadi lebih dari sekali.
Gara-gara Ranawijaya bekerja sama dengan bangsa asing
di Mao-lok-sa atau Malaka, pada tahun 1517 Jimbun menyerbu Daha yang menjadi Ibu
Kota Majapahit. Meski berhasil mengalahkan Pa-bu-ta-la, Jimbun mengampuni
musuhnya itu mengingat istrinya adalah adik Jimbun. Perang ini juga terdapat
dalam catatan Portugis.
Di sisi lain, Majapahit yang dipimpin seorang bupati
muslim dari Tuban bernama Pate Vira membalas dengan menyerang Giri Kedaton,
salah satu sekutu utama Demak di Gresik. Serangan ini gagal.
Sepeninggal Jimbun tahun 1518, Demak berturut-turut
dipimpin putranya Yat Sun alias Adipati Yunus yang lebih dikenal sebagai
Pangeran Sabrang Lor sampai tahun 1521. Yat Sun digantikan adiknya Tung Ka Lo
atau Sultan Trenggana.
Kronik Cina menyebut memanfaatkan suksesi di Demak
itu, Pa-bu-ta-la kembali kerjasama dengan Portugis yang memicu serangan Demak
ke Daha tahun 1524 yang dipimpin Sunan Ngudung. Pada penyerbuan itu Sunan
Ngudung yang juga merupakan salah satu anggota wali sanga itu tewas di tangan
Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit.
Demak kembali menyerbu Daha pada tahun 1527 yang
dipimpin oleh Sunan Kudus putra Sunan Ngudung. Dalam perang ini Majapahit
kalah.
Akibat serbuan itu Ranawijaya tewas sementara
putra-putrinya yang enggan memeluk Islam lari mengungsi ke arah timur menuju
Pasuruhan dan Panarukan yang secara resmi tak pernah dikuasai Demak.
Dalam penyerbuan itu pusat kerajaan Majapahit dijarah
oleh tentara Demak dan lenyap dari sejarah.
Pengaruh Cina
Gagal menaklukkan Jawa di era Kubhilai Khan dengan
senjata, Cina mengganti strateginya. Tahun 1405 wilayah di Kalimantan Barat
direbut Cina, Palembang di tahun 1407 dan menyusul kemudian, Melayu, Malaka dan
Brunei.
Wilayah-wilayah itu tumbuh menjadi bandar-bandar
perdagangan yang ramai, merdeka dari Majapahit.
Mandala Dwipantara yang digagas Kertanagara dan
dilanjutkan Gajah Mada dalam Sumpah Palapa runtuh. Pengaruh Cina tak terbendung
di Nusantara.
Setelah Armada Cina merebut Palembang dari tangan
Majapahit, daerah itu diduduki orang-orang Cina Islam dari Yunan yang
membentuk masyarakat Muslim di Palembang. Pada tahun itu juga mereka membentuk
masyarakat muslim di Sambas.
Hampir semua negara-negara pantai di Asia Tenggara
juga masuk dalam kekuasaan Cina di bawah kepemimpinan Laksamana Cheng Ho.
Di Campa ia menunjuk Bong Tak Keng sebagai penguasa
penuh untuk mengawasi perkembangan masyarakat Cina Islam di seluruh Asia
Tenggara.
Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan
Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara menyebut
untuk mempercepat proses pembentukan masyarakat Cina Islam di Jawa, Bong Tak
Keng memindahkan Gan Eng Cu dari Manila ke Tuban pada tahun 1419.
Kala itu Tuban sudah menjadi kota pelabuhan yang
sangat penting karena menjadi pintu masuk dari laut lepas menuju Majapahit di
pedalaman.
Swan Liong alias Arya Damar, kepala pabrik mesiu di
Semarang yang dianggap sebagai keturunan Majapahit di pindahkan ke Palembang
sebagai kapten Cina untuk memimpin masyarakat Cina Muslim di sana.
Ia dibantu Bong Swi Hoo yang datang dari Campa di
tahun 1445. Orang inilah yang dua tahun kemudian diangkat menjadi Kapten Cina
di Bangil, yang terletak di muara Kali Porong.
Demikianlah, hampir semua kota pelabuhan di seluruh
penjuru Nusantara, khususnya pantai utara Jawa terbentuk masyarakat Muslim Cina
yang mapan.
Semua kota-kota itu menjadi pusat perdagangan yang
sesuai instruksi dari Cina harus mengadakan hubungan politik dan hubungan
dagang dengan kerajaan-kerajaan tempat di mana mereka menetap.
Sebelum kedatangan mereka, wilayah-wilayah ini mutlak
dikuasai pedagang-pedagang yang tunduk kepada kekuasaan Majapahit di pedalaman.
Pelabuhan-pelabuhan itu adalah tempat berdagang sekaligus urat nadi
perekonomian Majapahit.
Bercokolnya pedagang-pedagang Cina Muslim di sepanjang
pantai utara Jawa itu benar-benar mencekik sumber perekonomian Majapahit. Ya,
Majapahit dikepung Cina Islam dari laut.
Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di Malaka,
Yat Sun memang memendam cita-cita merebut kota Pelabuhan Malaka. Namun niatnya
itu didahului Portugis yang menyerbu Malaka dari Goa.
Tak ada pilihan lain, Malaka harus direbut dari
Portugis dan ia mengirimkan armada perang tahun 1512.
Ungul jangkauan meriam dan menempatkan banteng di atas
bukit yang strategeis, Portugis berhasil mencegah kapal-kapal Demak mendekati
pantai di Malaka.
Meski berhasil mengusir Portugis di sepanjang pantai
Utara Jawa, dan mendirikan kasultanan di Banten sebagai pertahanan terdepan
menghadapi Portugis dari Malaka, Demak gagal mencegah Portugis mencapai Maluku.
Akibatnya, perdagangan rempah-rempah yang sangat
menguntungkan itu justru jatuh ke tangan orang-orang Portugis.
Meletakkan fokus utama merebut Malaka dari Portugis
untuk menguasai jalur perdagangan penting, Demak justru mengabaikan membangun
kehidupan rakyat di pedalaman.
Di sisi lain, bagaimanapun hebatnya, masyarakat Cina
yang selalu menjadi andalan Demak hakikatnya tetap terlalu kecil jika dibanding
kekuatan rakyat Jawa di pedalaman. Demak tetaplah menguasai beberapa kota
pelabuhan yang terpecah-pecah di berbagai tempat.
Kelalaian Jimbun merangkul orang-orang di pedalaman
bekas Majapahit dengan segera membuat Demak kehilangan simpati rakyat banyak.
Tenaga rakyat uang mestinya bisa digunakan untuk
kepentingan negara, justru berbalik sikap dengan memusuhi Demak. Negara
setengah koloni ini pada akhirnya runtuh gara-gara mengabaikan penduduk
asli.(KSC)